Aku adalah aku,
aku bukanlah kamu
dan kamu bukanlah aku.
Banggalah menjadi dirimu yang seperti aku
bangga menjadi diriku.
Sejarah
perlu dipahami secara utuh dan berkesinambungan. Pemahaman sejarah yang hanya
dengan membaca potongan-potongan fragmen, sementara sebagian fragmen telah
dipenggal dan ditutup-tutupi, akan melahirkan pemahaman menyimpang. Tidak hanya
itu, bahkan bisa memutarbalikkan fakta dalam peristiwa. Hal itu terjadi di
tengah bangsa ini dalam memahami sejarah pemberontakan Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Jangan
bilang PKI tidak bersalah. Peristiwa Madiun 1948 itu ulah biadab PKI. Dan
betapa pahitnya omongan Aidit (Dipa Nusantara Aidit, seorang pemimpin senior
PKI) yang bilang ulama itu tanpa kerjaan, kitabnya yang banyak, yang bisa buat
bendung kali Ciliwung tidak berguna, Indonesia tak butuh ulama.
Dalam
pandangan sejarah kontemporer yang tidak benar, PKI hanya dianggap membuat manuver
hanya tahun 1965. Itu pun juga tidak sepenuhnya diakui, sebab peristiwa
berdarah itu dianggap hanya manuver TNI
Angkatan Darat. Kemudian dibuat kesimpulan bahwa PKI tidak pernah melakukan
petualangan politik. Mereka dianggap sebagai korban konspirasi dari TNI AD dan
organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam anti PKI seperti NU, dan lain-lain.
Pemberontakan
PKI pertama kali dilakukan tahun 1926, kemudian dilanjutkan dengan
Pemberontakan Madiun 1948 dan dilanjutkan kembali pada tahun 1965 adalah suatu
kesatuan sejarah yang saling terkait. Para pelakunya saling berhubungan. Tujuan
utamanya adalah bagaimana mengkomuniskan Indonesia dengan mengorbankan para ulama
dan aparat negara.
Pemberontakan
Madiun 1948 yang dilakukan PKI beserta Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan
organ kiri lainnya menelan ribuan korban, baik dari kalangan santri, para
ulama, dan pemimpin tarekat yang dibantai secara keji. Selain itu, berbagai
aset mereka seperti masjid, pesantren, dan madrasah dibakar. Demikian juga
kalangan aparat negara baik para birokrat, aparat keamanan, polisi, dan TNI
banyak yang mereka bantai saat mereka menguasai Madiun dan sekitarnya yang
meliputi kawasan strategis Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Anehnya, PKI menuduh pembantaian yang
mereka lakukan itu hanya sebagai manuver Hatta (Wakil Presiden RI Muhammad
Hatta). Padahal jelas-jelas Bung Karno (Presiden RI Soekarno) sendiri yang
berkuasa saat itu bersama Hatta mengatakan pada rakyat bahwa pemberontakan PKI
di Madiun yang dipimpin Muso dan Amir Syarifuddin itu sebuah kudeta untuk
menikam Republik Indonesia dari belakang, karena itu harus dihancurkan. Korban
yang begitu besar itu ditutupi oleh PKI. Karena itu tidak lama kemudian Aidit
menerbitkan buku putih yang memutarbalikkan fakta pembantaian Madiun tersebut.
Para penulis sejarah termakan oleh manipulasi Aidit. Tetapi rakyat, para ulama,
dan santri sebagai korban tetap mencatat dalam sejarahnya sendiri.
Karena
peristiwa itu dilupakan maka PKI melakukan agitasi dan propaganda intensif
sejak dimulainya kampanye Pemilu 1955, sehingga suasana politik tidak hanya
panas, tetapi penuh dengan ketegangan dan konflik. Berbagai aksi teror
dilakukan PKI. Para kiai dianggap sebagai salah satu dari setan desa yang harus
dibabat. Kehidupan kiai dan kaum santri sangat terteror, sehingga mereka selalu
berjaga dari serangan PKI.
Fitnah,
penghinaan serta pembunuhan dilakukan PKI di berbagai tempat, sehingga terjadi
konflik sosial yang bersifat horisontal antara pengikut PKI dan kelompok Islam,
terutama Nahdlatul Ulama (NU). Serang menyerang terjadi di berbagai tempat
ibadah, perusakan pesantren dan masjid dilakukan termasuk perampasan tanah para
kiai. Bahkan pembunuhan pun dilakukan. Saat itu, NU melakukan siaga penuh yang
kemudian dibantu oleh GP Ansor dengan Banser sebagai pasukan khusus yang
melindungi mereka. Lagi-lagi kekejaman yang dilakukan PKI terhadap santri dan
kiai serta kalangan TNI itu dianggap hanya manuver TNI AD.
Sejarah
dibalik. Yang selama ini PKI bertindak sebagai pelaku kekejaman, diubah menjadi
pihak yang menjadi korban kekejaman para ulama dan TNI. Karena itu, kita
khususnya para pendidik, luruskan sejarah agar anak didik kita tahu bagaimana
sulitnya menjaga persatuan dan persatuan. (*/hen)
Penulis:
Surya Agung Sabda, S.Pd
Editor:
Hendarmono Al Sidarto
*Keterangan:
Foto-foto ilustrasi disadur dari Jawad Bahonar
0 komentar:
Posting Komentar